Senin, 15 Desember 2008

Chandra Telescope Searches for Antimatter from hans

 
The Bullet Cluster.
Credit: X-ray: NASA/CXC/CfA/M.Markevitch et al.;
Optical: NASA/STScI; Magellan/U.Arizona/D.Clowe et al.


Say the word "antimatter" and immediately people think of science fiction – anti-universes, fuel for the Enterprise's warp-speed engines and so forth. But Captain, we can't change the laws of physics; antimatter is the real deal. Antimatter is made up of elementary particles, each of which has the same mass as their corresponding matter counterparts –protons, neutrons and electrons — but the opposite charges and magnetic properties. When matter and antimatter particles collide, they annihilate each other and produce energy according to Einstein's famous equation, E=mc2. But antimatter isn't something that's available on every corner drugstore (and neither is plutonium, to continue with the movie theme) and there's not very much of it around, so it seems. But, according to theory, it wasn't always that way, and scientists are using the Chandra X-ray Observatory to hunt for evidence of antimatter that was present in the very early universe. And it's not an easy job…

According to the Big Bang model, the Universe was awash in particles of both matter and antimatter shortly after the Big Bang. Most of this material annihilated, but because there was slightly more matter than antimatter - less than one part per billion - only matter was left behind, at least in the local Universe.

Trace amounts of antimatter are believed to be produced by powerful phenomena such as relativistic jets powered by black holes and pulsars, but no evidence has yet been found for antimatter remaining from the infant Universe.

How could any primordial antimatter have survived? Just after the Big Bang there was believed to be an extraordinary period, called inflation, when the Universe expanded exponentially in just a fraction of a second.

"If clumps of matter and antimatter existed next to each other before inflation, they may now be separated by more than the scale of the observable Universe, so we would never see them meet," said Gary Steigman of The Ohio State University, who conducted
the study. "But, they might be separated on smaller scales, such as those of superclusters or clusters, which is a much more interesting possibility."

Illustration of Antimatter/Matter Annihilation. (NASA/CXC/M. Weiss)

In that case, collisions between two galaxy clusters, the largest gravitationally-bound structures in the Universe, might show evidence for antimatter. X-ray emission shows how much hot gas is involved in such a collision. If some of the gas from either cluster has particles of antimatter, then there will be annihilation and the X-rays will be accompanied by gamma rays. Steigman used data obtained by Chandra and now de-orbited Compton Gamma Ray Observatory to study the Bullet Cluster, where two large clusters of galaxies have crashed into one another at extremely high velocities. At a relatively close distance and with a favorable side-on orientation as viewed from Earth, the Bullet Cluster provides an excellent test site to search for the signal for antimatter.

"This is the largest scale over which this test for antimatter has ever been done," said Steigman, whose paper was published in the Journal of Cosmology and Astroparticle Physics. "I'm looking to see if there could be any clusters of galaxies which are made of large amounts of antimatter." The observed amount of X-rays from Chandra and the non-detection of gamma rays from the Compton data show that the antimatter fraction in the Bullet Cluster is less than three parts per million. Moreover, simulations of the Bullet Cluster merger show that these results rule out any significant amounts of antimatter over scales of about 65 million light years, an estimate of the original separation of the two colliding clusters. "The collision of matter and antimatter is the most efficient process for generating energy in the Universe, but it just may not happen on very large scales," said Steigman. "But, I'm not giving up yet as I'm planning to look at other colliding galaxy clusters that have recently been discovered." Finding antimatter in the Universe might tell scientists about how long the period of inflation lasted. "Success in this experiment, although a long shot, would teach us a lot about the earliest stages of the Universe," said Steigman. Tighter constraints have been placed by Steigman on the presence of antimatter on smaller scales by looking at single galaxy clusters that do not involve such large, recent collisions.

Source: Chandra/Harvard and written by Nancy Atkinson

Senin, 01 Desember 2008

MENGHITUNG SATUAN ASTRONOMI

Pendahuluan
Mungkin Anda pernah mendengar istilah AU. AU adalah singkatan dari Astronomical Unit.

Satu AU sama dengan jarak RATA-RATA Matahari ke Bumi

Nilai eksak AU yang saat ini diterima adalah 149.597.870.691 ± 30 meter (sekitar 150 juta kilometer atau 93 juta mil). Untuk keperluan perhitungan sehari-hari sering diambil 1,496 x 108 km.

Satuan AU umumnya digunakan untuk menyatakan jarak benda-benda yang ada di tata surya. Alasannya adalah agar jarak benda-benda di tata surya (planet, asteoroid, dll) mudah dibandingkan dengan jarak Matahari-Bumi. Misalkan, planet Jupiter dikatakan berjarak 5,2 AU dari Matahari berarti jarak Jupiter-Matahari 5,2 kali jarak Bumi-Matahari.

Bagaimana menghitung AU?
Sebelum kita mulai membahas bagaimana para ahli menghitung besarnya satu AU, Anda sebaiknya memahami Hukum Kepler, khususnya Hukum Kepler ketiga.

Hukum ini menyatakan bahwa perbandingan pangkat tiga jarak suatu objek terhadap kuadrat periode revolusinya adaah konstan jika mengorbit objek yang sama (misalnya, semua planet memiliki nilai konstanta yang sama karena sama-sama mengitari Matahari tetapi Bulan tidak mempunyai nilai konstanta yang sama dengan planet karena Bulan mengorbit Bumi, bukan Matahari). Jika dinyatakan dalam bentuk persamaan, Hukum Ketiga Kepler berbentuk:

(a3/P2)1 = (a3/P2)2 = konstan

dengan : a = jarak objek dan P = periode orbit.

Sebenarnya banyak cara untuk menentukan jarak Bumi-Matahari. Salah satu teknik yang paling modern yang cukup teliti adalah dengan menggunakan radar.

Pengamatan dengan radar ini pertama kali dilakukan oleh Lincoln Laboratory, Massachusetts Institute of Technology pada tahun 1958 dengan mengirim gelombang radar berfrekuensi 440 Megahertz ke planet Venus.

Untuk penentuan ini diandaikan orbit Bumi dan Venus berbentuk lingkaran. Asumsi ini hanya mengurangi seidkit akurasi perhitungan karena orbit Venus memang hampir berupa lingkaran sempurna (eksentrisitas orbit Venus = 0,00677323).

Dari pengamatan, diketahui bahwa periode orbit Bumi adalah,
PB = 365,25 hari
Periode orbit Venus adalah,
PV = 224,7 hari

Dari hukum Kepler ke-3 (a3 ~ P2)
aV/aB = (PV/PB)2/3

Dari data di atas :
aV/aB = (224,7/365,25)2/3 = 0,72
atau, aV = 0,72 aB

Ilustrasi perhitungan ini ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:


Menghitung Satuan Astronomi (Astronomical Unit)

Dengan menggunakan aturan cosinus:


Lalu, subtistusikan : aV = 0,72 aB ke dalam persamaan di atas dan akan diperoleh:

Nilai d dapat ditentukan dengan radar. Gelombang radar dipancarkan dari Bumi dan ditangkap sinyal pantulannya. Selang waktu kedua sinyal (sinyal utama dan sinyal pantulan) dapat digunakan sebagai skala jarak. Persamaan yang digunakan adalah:
t = 2d c
dengan :
d = jarak antara objek pemancar sinyal (Bumi) dan objek pemantul sinyal (Venus) (diambil pada saat jarak terdekat Bumi-Venus)
t = waktu yang ditempuh oleh gelombang radar Bumi- Venus- Bumi
c = kecepatan gelombang elektromagnetik (cahaya, gelombang radar, dll) = 299.792.458 m/s

Nilai α juga dapat diamati dari Bumi karena α menyatakan jarak sudut (sudut pisah) antara Venus dan Matahari saat teramati dari Bumi (jarak sudut adalah jarak antara dua objek dinyatakan dalam satuan sudut). Nilai α tergantung pada posisi Bumi-Venus pada saat pengukuran.

Dengan memasukan harga d dan hasil pengamatan, diperoleh,
aB = 1,496 x 1013 cm = 1 AU

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah:
1. Orbit Bumi dan orbit Venus mengedari Matahari tidak berupa lingkaran sempurna, tapi berupa elips dengan eksentrisitasnya sangat kecil (eksentrisitas orbit Venus = 0,00677323). Jadi, orbit Bumi dan orbit Venus praktis dapat dianggap berupa lingkaran.
2.Selain itu juga bidang orbit Venus tidak sebidang dengan bidang orbit Bumi, tetapi membentuk sudut 3o23’. Kemiringan bidang orbit ini cukup kecil.
Jadi, sekarang Anda sudah tahu bagaimana salah satu metode menghitung jarak Bumi-Matahari yang dijadikan unit (satuan) jarak benda-benda lain di tata surya kita ini.

Salah satu metode lain untuk menghitung AU dengan ketelitian yang lebih rendah adalah menggunakan peristiwa transit Venus. Ketelitian yang lebih rendah disebabkan sulitnya menentukan secara pasti waktu kontak I (saat piringan Venus menyentuh piringan Matahari) dan kontak IV (saat piringan Venus meninggalkan piringan Matahari). Efek ini dikenal dengan blackdrop effect. Transit Venus adalah peristiwa ketika piringan Venus lewat di "depan" piringan Matahari (nampak seperti noda hitam di permukaan Matahari).



Peristiwa ini terakhir terjadi pada tanggal 8 Juni 2004 dan akan terjadi lagi pada tanggal 6 Juni 2012. Transit berikutnya lagi akan terjadi ratusan tahun lagi (pada 11 Desember 2117).

Data hasil pengamatan transit Venus tahun 1761 dan 1769 (oleh Edmund Halley):

The Observed Tracks of Venus across the Face of the Sun during the Transits of 1761 and 1769

Metode perhitungannya diajukan oleh Halley pada tahun 1776:

Dari gambar di atas dapat ditemukan hubungan:
D = d . Lv/(LE - Lv ) (dari hubungan kesebangunan segitiga)

Ratio Lv/LE dapat diketahui dari Hukum Ketiga Kepler. Secara kasar, nilai sama dengan sin θ (dimana θ adalah sudut elongansi terbesar planet Venus - lihat gambar di bawah ini)

Jadi, D = d . sin θ. LE/(LE( 1 - sin θ)) = d . sin θ/( 1 - sin θ)

Oleh sebab itu, dari ratio D/H (lihat gambar sebelumnya), nilai H (diameter Matahari) dapat dhitung. Kemudian, nilai paralaks Matahari dan jarak Matahari dari Bumi (1 AU) dapat dihitung. Memang metode ini, nampak lebih sulit dibandingkan metode dengan radar tetapi pada saat itu belum ada cara langsung untuk mengukur jarak Bumi ke Venus.
Sekarang Anda diminta untuk mencoba menghitung jarak Bumi-Matahari berdasarkan metode Halley. Diketahui paralaks Matahari hasil perhitungan Halley antara 8.55" sampai 8.88". Jawabannya boleh disampaikan lewat kolom komentar.

Sumber :
Slide kuliah Astrofisika 1 : Bab Besaran Mendasar dalam Astrofisika, oleh Dr. Djoni N. Dawanas, ITB.
wikipedia.org
The transit of Venus and The Quest For the Solar Parallax, by David Sellers (Leeds, England)
NASA

DATA INI DIAMBIL DARI BLOGS HANSGUNAWAN

Senin, 24 November 2008

kuis hansgunawan

Di bawah ini ada 2 buah gambar. Kedua gambar tersebut menunjukkan suatu fenomena astronomi tertentu. Coba tebak peristiwa apakah yang dimaksud? Dan kalau bisa, jelaskan juga apa penyebab timbulnya fenomena tersebut.

MENGENAL BINTANG

Astronomi merupakan ilmu tertua yang mempelajari alam semesta. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, di astronomi objek yang diamati tidak bisa dipegang karena alam semesta itu sendirilah yang menjadi laboratorium. Hal inilah yang menjadi keunikan astronomi.

Salah satu objek yang diamati adalah bintang. Bagi masyarakat awam bintang hanyalah objek yang memancarkan cahaya kelap kelip di malam hari, bertaburan menemani bulan. Namun bagi para astronom, sebuah bintang bisa menceritakan banyak hal. Bukan hanya sekedar penambah suasana romantis. Tapi bagaimana mengamati bintang dan informasi apa yang bisa diperoleh? Darimana informasi itu diperoleh?

Saat mengamati bintang, yang teramati hanyalah sebuah objek kecil yang hampir mirip dengan noktah yang memancarkan cahaya. Lantas apa yang diamati? Cahaya bintang itulah yang diamati oleh para pengamat di bumi, karena cahaya tersebut merupakan pancaran energi dari bintang yang diamati. Dalam pengamatan, digunakan teleskop sebagai alat bantu dan informasi yang diterima biasanya berasal dari pancaran energi pada panjang gelombang tertentu yakni pada panjang gelombang tampak, inframerah dan ultraviolet.

Luminositas Bintang
Kecerlangan intrinsik bintang bisa kita lihat dari pancaran energinya. Semakin besar energi yang dipancarkan, maka bintang tersebut akan semakin terang. Bagi para astronom luminositas didefinisikan sebagai jumlah energi yang dipancarkan bintang setiap detik pada permukaan seluas 1 cm2 kesegala arah.

Karena letak bintang yang sangat jauh tentunya tidak mungkin pengamat pergi ke bintang untuk mengetahui berapa jumlah energi yang dipancarkan tersebut. Untuk itu pertama-tama kita harus mengetahui energi total yang diterima pengamat tiap detik pada permukaan seluas 1 cm2. Energi yang diterima pengamat ini bisa didapatkan dari cahaya yang diamati. Sehingga luminositas bisa didapat dari hubungan: E = L/4(pi)d2

Tapi bagaimana dengan jarak ke bintang? Jarak ke bintang bisa diketahui dari hubungan paralaks trigonometri untuk bintang-bintang dekat : d = 1/p

Cara lain untuk menentukan jarak bintang-bintang jauh adalah dengan menggunakan hubungan modulus jarak dan kuat cahaya bintang. Pada bintang-bintang jauh pengamat bisa mengetahui magnitudo semu bintang saat pengamatan. Sebelumnya kita terlebih dahulu harus mengetahui kelas spektrum bintang yang kita amati, sehingga magnitudo mutlak bintang yakni kuat cahaya yang diandaikan diamati dari jarak yang sama yakni 10 pc bisa didapatkan. Magnitudo mutlak bintang ditentukan dengan mengasumsikan magnitudo mutlak bintang yang diamati sama dengan magnitudo mutlak bintang-bintang dekat yang kelas spektrumnya sudah diketahui. Maka jarak bisa diperoleh dari hubungan : m - M = -5 -5 log d

Untuk kasus bintang ganda, jarak antara kedua bintang bisa diketahui dari tan sudut yang terbentuk antara kedua bintang dengan pengamat dengan a adalah setengah sumbu besar. Dengan mengetahui jarak, pengamat sudah bisa menentukan berapa jumlah energi yang dipancarkan bintang setiap detik pada permukaan luas 1 cm2.

Massa Bintang
Untuk mengetahui massa bintang, pengamat harus mengerti bagaimana gravitasi bekerja. Pada benda-benda langit, terdapat gaya gravitasi yang menyebabkan benda-benda tersebut bergerak mengitari pusat massanya.

Misal, ada 2 buah objek yang bergerak mengitari pusat massanya dalam orbit berbentuk ellips dengan hubungan yang diberikan oleh newton :

Tapi hasil yang diperoleh hanyalah jumlah massa kedua objek bintang tersebut, dan bukan masing-masing bintang. Massa masing-masing bintang bisa ditentukan jika pengamat mengetahui perbandingan (rasio) jarak masing-masing bintang ke pusat massanya, yakni dengan : M1/M2 = r1 /r2

Bintang Ganda Visual
Jika sistem bintang ganda cukup dekat, pengamat bisa melihat kalau kedua bintang tersebut saling mengitari pusat massanya seperti di bawah ini :

Dari hasil pengamatan tersebut, bisa didapat sudut yang terbentuk antara kedua bintang tersebut dengan pengamat, setengah sumbu besar (a), sudut perpotongan bidang orbit dan bidang langit (inklinasi i), periode orbit (P). Maka jarak pengamat ke bintang ganda tersebut adalah: alpha = a/d

Dengan mengetahui sudut antara kedua bintang, maka jumlah massa kedua bintang bisa diketahui. Sedangkan untuk massa masing-masing bintang diperlukan pengukuran orbit setiap komponen relatif terhadap titik pusat massanya. Bila sudut untuk masing-masing bintang alpha = apha 1 + alpha 2 maka didapat hubungan massa dalam hubungan setengah sumbu besar: M1a1 =M2 a2

Bintang Ganda Spektroskopi
Bintang ganda spektroskopik adalah bintang ganda yang umumnya memiliki periode orbit beberapa hari. Jika bintang ganda terlalu jauh untuk bisa dilihat geraka terhadap pusat massanya secara terpisah untuk gerak masing-masing bintang, maka massa bintang masih bisa diperoleh dari :
Pengukuran pergeseran Doppler pada cahaya yang datang dan diterima dalam bentuk garis spektrum.
Garis dari kedua bintang dapat dilihat tapi hal ini sulit berlaku bila salah satu bintang terlalu lemah terhadap yang lain.
Saat salah satu bintang bergerak menjauh dari pengamat, bintang yang satu lagi akan bergerak mendekati pengamat.

Karena itu bintang yang satu akan bergeser ke arah biru sementara yang lain bergeser ke arah merah.
Setelah setengah periode, bintang pertama akan bergerak mendekati pengamat dan bintang kedua akan menjauhi pengamat.
Karena itu bintang yang satu akan bergeser ke arah merah sementara yang lain bergeser ke arah biru.


Tampak kedua spektrum bergeser. Dari pergeseran Doppler, pengamat bisa mendapatkan harga kecepatan radial. Perubahan harga kecepatan radial terhadap waktu disebut kurva kecepatan radial. Kurva ini dipakai untuk melihat gerak orbitnya serta mendapatkan Periode orbit saat bintang melewati periastron. Dari sini, harga a sin i untuk masing-masing bintang bisa diketahui sehingga massa bintang bisa diketahui dari hubungan a dan m.

Bintang Ganda Gerhana

Jika kedua bintang ganda merupakan bintang ganda gerhana, perubahan cahaya bisa dilihat ketika bintang yang satu menggerhanai bintang yang lain. Hal ini terjadi jika bintang ini berada sejajar dengan garis pandang pengamat.

Informasi yang diterima pengamat berasal dari kurva cahaya bintang ganda gerhana. Pada bintang ganda gerhana pengamatan dilakukan dengan cara fotometri. Namun karena jarak keduanya yang dekat, maka bintang ganda gerhana juga tergolong sebagai bintang ganda spektroskopi. Sehingga komponen massanya bisa ditentukan dengan penggabungan hasil pengamatan fotometri dan spektroskopi.

Dari hasil pengamatan fotometri didapat harga i, R1/a dan R2/a. Sedangkan dari pengamatan spektroskopi didapat harga a sin i, M1 sin3 i, dan M2 sin3 i. Jadi massa dan radius bintang bisa dihitung dari hubungan harga-harga tersebut.

Radius Bintang
Radius bintang atau jari-jari bintang sulit ditentukan lewat pengamatan langsung terutama untuk bintang-bintang jauh. Untuk bintang dekat seperti Matahari radiusnya bisa diketahui dengan mengukur besar sudut bundaran matahari yang dilihat dari bumi. Dari hubungan sudut dan jarak matahari dari pengamat, radius atau jari jari matahari bisa diketahui.

Cara yang lain untuk mendapatkan diameter sudut bundaran bintang adalah dengan menggunakan pengukuran interferometri, sehingga jari-jari bintang bisa diketahui jika jarak dengan pengamat diketahui juga.

fotometri 01

Fotometri adalah bagian dari astrofisika yang mempelajari kuantitas, kualitas dan arah pancaran radiasi elektromagnetik dari benda langit. Penggunaan kata ‘foto’ yang berarti ‘cahaya’ disebabkan pada awalnya pengamatan benda langit hanya terbatas pada panjang gelombang visual/optik.

Fotometri didasarkan pada pemahaman atas hukum pancaran (radiation law). Kita menghipotesakan bahwa benda langit diangggap memiliki sifat sebuah benda hitam (black body).

Sifat benda hitam antara lain :

1) pada kesetimbangan termal, temperatur benda hanya ditentukan oleh jumlah energi yang diserapnya per detik;

2) benda hitam tidak memancarkan radiasi pada seluruh gelombang elektromagnetik dengan intensitas yang sama (ada yang dominan meradiasikan gelombang elektromagnetik pada daerah biru dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang lainnya. Konsekuensinya, benda tersebut akan nampak biru).

Panjang gelombang yang dipancarkan dengan intensitas maksimum (λmaks) oleh sebuah benda hitam dengan temperatur T Kelvin adalah :

λmaks = 0,2898/ T .......................... (pers. 1)

(λmaks dinyatakan dalam cm dan T dalam Kelvin)

Persamaan di atas disebut dengan Hukum Wien.
Contoh penggunaan hukum Wien :


(Warning : Yang perlu diperhatikan bahwa λmaks bukan berarti panjang gelombang maksimum tetapi panjang gelombang yang dipancarkan dengan intensitas maksimum)

Jumlah energi per satuan waktu yang dipancarkan sebuah benda hitam per satuan luas permukaan pemancar (benda hitam) disebut fluks energi yang dipancarkan. Besarnya fluks energi yang dipancarkan sebuah benda hitam (F) dengan temperatur T Kelvin adalah :

F = σT4 .......................... (pers. 2)

(σ : konstanta Stefan-Boltzman : 5,67 x 10^-8 Watt/m2K4)

Sedangkan total energi per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas permukaan pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas. Besarnya luminositas (L) dihitung dengan persamaan :

L = A σT4 .......................... (pers. 3)

Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar radiasinya (A) adalah 4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang (L) adalah :

L = 4πR2 σT4 .......................... (pers. 4)

Benda hitam memancarkan radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi tersebut menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang sama, yaitu E. Besarnya E :

E = L/(4πd2) .......................... (pers. 5)

Fluks energi inilah yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak d dari pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima pengamat. (Warning : bedakan antara besaran E dan F).
Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (invers square law) untuk kecerlangan (brightness, E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin redup cahayanya.


Latihan:
Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa permukaan seluas 1 cm2 di luar atmosfer bumi menerima energi yang berasal dari Matahari sebesar 1,37 x 106 erg/cm2/s. Apabila diketahui jarak Bumi-Matahari adalah 150 juta kilometer, tentukanlah luminositas Matahari.
Bumi menerima energi dari Matahari sebesar 1380 Watt/m2. Berapakah energi dari Matahari yang diterima oleh planet Saturnus, jika jarak Matahari-Saturnus adalah 9,5 AU?
Luminositas sebuah bintang 100 kali lebih terang daripada Matahari, tetapi temperaturnya hanya setengahnya dari temperatur Matahari. Berapakah radius bintang tersebut dinyatakan dalam radius Matahari ?

Sistem Magnitudo

Sistem Magnitudo

Materi yang berikutnya akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan fotometri adalah sistem magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif)

Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.

Skala Pogson untuk magnitudo (semu):
m1 - m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2

Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standar.

Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.

Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.

Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).

Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 pc.

Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 - M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2

Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m - M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak.

Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.

Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m - M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.

Contoh:
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ?

Jawab : m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m – M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 – 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 --> d = 100 pc

Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.

Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau mfot .

Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index – CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.

Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.

Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :

U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)

Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya.

Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.

Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.

Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.



Dengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)

Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol - Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.

Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.

Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction - BC).

mv – mbol = BC

Mv – Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.

Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil.

Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.

Hubungan antara nilai BC dengan indeks warna (CI) ditunjukkan dalam grafik di bawah ini:

Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan bintang maharaksasa.

Galaksi 3

Masih seputar galaksi. Bagian
dalam sebuah galaksi berputar
seperti sebuah benda tegar.
Tetapi bagian luar akan mirip
dengan planet-planet yang
berputar di sekeliling matahari
(sesuai dengan hukum Kepler
ketiga). Bagian ini berputar
dengan kecepatan yang lebih
kecil. Lengan-lengannya
cenderung untuk melilit pusat
galaksi dalam spiral yang
semakin ketat. Gas dan debu
akan terkumpul pada daerah-
daerah lengan spiral yang
memiliki kerapatan yang lebih
besar. Akibatnya, daerah-
daerah ini akan menjadi tempat
pembentukan bintang-bintang
muda, terang, dan panas.
Bintang-bintang yang
membentuk pola lengan-lengan
spiral sebuah galaksi. Bintang-
bintang ini hanya bersinar
selama kira-kira sepuluh juta
tahun, hanya sekitar 5% dari
periode rotasi sebuah galaksi.
Tetapi apabila sebuah bintang
yang ada di sebuah lengan
spiral mati, bintang-bintang
baru dan awan-awan yang
berhubungan dengannya
terbentuk lagi, sehingga pola-
pola lengan spiral tetap
bertahan. Bintang-bintang yang
membentuk lengan spiral sebuah
galaksi tidak bertahan sampai
satu rotasi, tetapi pola-pola
lengan spiralnya tetap ada.
Kecepatan bintang dalam
mengelilingi pusat galaksi tidak
sama dengan kecepatan lengan-
lengan spiralnya. Matahari
sudah sekitar 20 kali keluar
masuk lengan-lengan spiral
selama rotasinya mengelilingi
pusat galaksi Bimasakti dengan
kecepatan 200 km/detik. Rata-
rata matahari dan planet-
planet berada dalam sebuah
lengan spiral selama 40 juta
tahun, kemudian berada di
luarnya selama 80 juta tahun,
40 juta tahun lagi di dalamnya,
demikian seterusnya. Lengan-
lengan spiral merupakan tempat
bintang-bintang yang baru
dilahirkan. Tetapi tidak selalu
merupakan tempat kelahiran
bintang-bintang setengah umur
seperti matahari kita. Pada saat
ini kita sedang berada di antara
lengan-lengan spiral.
Lewatnya tata surya di antara
lengan-lengan spiral secara
periodik mungkin memiliki
pengaruh yang penting bagi
kita. Kira-kira sepuluh juta
tahun yang lalu, matahari
keluar dari daerah sabuk Gould
dari lengan spiral Orion yang
sekarang jaraknya kurang dari
1000 tahun cahaya. (Yang
berada di sebelah dalam lengan
Orion adalah lengan Sagitarius,
dan di sebelah luarnya adalah
lengan Perseus). Saat matahari
melewati sebuah lengan spiral,
maka mungkin sekali kita
memasuki sebuah nebula gas
dan awan debu antar bintang
dan bertemu dengan objek-
objek yang massanya kurang
dari massa sebuah bintang.
Diduga jaman es besar yang
dialami planet kita, yang terjadi
kira-kira setiap 100 juta tahun
adalah akibat adanya materi-
materi antarbintang yang
berada di antara bumi dan
matahari, sehingga menghalangi
sinar matahari yang datang ke
bumi.
Kemungkinan sejumlah bulan,
komet, asteroid, dan cincin-
cincin yang mengelilingi planet-
planet di tata surya, dahulu
bergerak bebas di ruang antar
bintang sampai mereka
terperangkap dalam daerah
tata surya saat matahari
memasuki lengan spiral Orion (W.
Napier & S. Clube). Ini adalah
gagasan yang menarik,
meskipun kemungkinannya tidak
terlalu besar. Tetapi gagasan ini
bisa diuji. Yang perlu kita
lakukan hanyalah mengambil
beberapa contoh bahan dari
sebuah komet, dan meneliti
kandungan isotop
magnesiumnya. Kelimpahan
relatif berbagai isotop
magnesium (semuanya
mengandung proton dalam
jumlah yang sama, tetapi
netronnya berbeda)
bergantung pada urutannya
pada rangkaian reaksi
pembentukan inti-inti berat di
bintang. Urutan ini termasuk
juga saat terjadinya ledakan
supernova di dekat bintang. Di
daerah galaksi yang berbeda,
urutan peristiwa yang berbeda
akan berlangsung, dan
menghasilkan kelimpahan relatif
isotop magnesium yang berbeda
pula. Saat ini, wahana antariksa
Stardust (AS) telah dikirimkan
dengan misi untuk mengambil
sampel partikel dari komet Wild 2
dan mengembalikannya ke bumi
kelak pada Januari 2006.
Diharapkan dari sampel yang
diperoleh, kita dapat
mengkonfirmasi kebenaran teori
ini.

Galaksi 2

Tipe galaksi berikutnya adalah
galaksi eliptik. Galaksi dari tipe
ini berwujud sebuah struktur
berbentuk bola yang
beranggotakan milyaran bintang
yang menyerupai kelompok
globular dalam skala raksasa.
Struktur internalnya sangat
kecil, dengan densitas bintang-
bintang yang membentuk
galaksi berkurang secara
gradual, mulai dari bagian
intinya yang rapat hingga
bagian pinggir yang menyebar.
Galaksi-galaksi eliptik memiliki
tingkat kelonjongan yang
beragam. Tipe galaksi ini
biasanya hanya memiliki sangat
sedikit gas dan debu antar-
bintang, dan tidak memiliki
populasi bintang muda (walapun
ada beberapa perkecualian
untuk ciri ini).
Astronom Edwin Hubble semula
menggolongkan galaksi eliptik
sebagai galaksi tahap-awal yang
akhirnya akan berevolusi
menjadi galaksi spiral (yang
disebutnya galaksi tahap-akhir).
Astronom masa kini telah
menyadari bahwa kenyataan
yang sebenarnya justeru
berkebalikan dari hipotesis
Hubble tersebut, namun
pelabelan yang dirintisnya itu
masih digunakan hingga kini.
Semula diduga bahwa galaksi
eliptik adalah bentuk galaksi
yang sederhana, namun
belakangan ternyata diketahui
merupakan objek yang cukup
kompleks. Kompleksitas ini bisa
dirunut dari asal-usul
pembentukannya. Galaksi eliptik
dipercaya merupakan produk
dari bergabungnya dua atau
lebih galaksi spiral menjadi satu
galaksi tunggal.
Galaksi-galaksi eliptik yang ada
memiliki rentang ukuran dan
kecerlangan yang sangat
beragam, mulai dari yang
berbentuk elips raksasa
bergaris tengah ratusan ribu
tahun cahaya, dengan
kecerlangan hampir satu triliun
kali kecerlangan matahari,
hingga Eliptik kerdil yang
kecerlangannya hanya sedikit
lebih besar dari rata-rata
kelompok globular biasa. Secara
morfologis, galaksi eliptik dapat
digolongkan menjadi beberapa
kelas:
cD galaxies
Galaksi yang sangat besar dan
cemerlang, dengan ukuran
mendekati 1 Megaparsek (3
milyar tahun cahaya) pada
diameternya. Objek raksasa ini
biasanya hanya ditemui di dekat
pusat kluster galaksi yang
besar dan padat. Golongan ini
nampaknya merupakan hasil
penggabungan dari banyak
galaksi.
Normal elliptical galaxies
Objek-objek terpadat dengan
kecerlangan permukaan relatif
tinggi. Termasuk dalam golongan
ini adalah galaksi eliptik raksasa
(giant ellipticals, gE), galksi
eliptik dengan kecerlangan
menengah (intermediate-
luminosity ellipticals, E), dan
galaksi eliptik kompak (compact
ellipticals).
Dwarf elliptical galaxies (dE)
Pada dasarnya, kelas galaksi ini
berbeda dengan galaksi eliptik
normal. Diameternya berkisar
antra 1 hingga 10 kiloparsek
dengan kecerlangan permukaan
yang lebih rendah dari galaksi
eliptik normal, membuatnya
kelihatan menyebar.
Penampakannya menunjukkan
karakteristik yang sama seperti
karakteristik persebaran
bintang pada galaksi, mulai dari
bagian inti yang padat dan
terus merenggang secara
gradual ke arah pinggir.
Dwarf speroidal galaxies
(dSph)
Galaksi dari kelas ini memiliki
luminositas yang sangat rendah
dengan tingkat kecerlangan
permukaan yang juga rendah.
Karenanya galaksi yang bisa
diamati dari kelas ini hanyalah
yang posisinya dekat dengan
galaksi kita atau di kelompok-
kelompok galaksi terdekat
seperti halnya kelompok Leo.
Magnitudo absolutnya hanya
berkisar -8 hingga -15 mag.
Salah satu galaksi dari jenis ini
yang disebut Draco hanya
memiliki magnitudo absolut
sebesar -8,6, membuatnya lebih
redup dari rata-rata kelompok
globular di galaksi Bimasakti.
Blue compact dwarf
galaxies (BCD)
Galaksi kecil yang biasanya
nampak berwarna kebiruan.
Pengukuran warna fotometrik
dengan filter cahaya biru (B-V)
menunjukkan besaran antara 0,0
hingga 0,30 mag, yang
merupakan tipikal bintang yang
relatif muda dari tipe spektral
A. Ini menunjukkan bahwa BCD
dalam keadaan aktif membentuk
bintang-bintang. Tidak seperti
galaksi elips lainnya, sistem ini
kaya akan kandungan gas
antar-bintang.

Galaksi 1

Galaksi Bimasakti, dimana Bumi,
Matahari, dan seluruh bintang
yang terlihat di langit malam
berada, adalah sebuah galaksi
spiral, atau lebih tepatnya,
galaksi spiral berpalang. Dalam
bahasa Inggris, galaksi ini
disebut sebagai "Milky Way",
mengacu pada suatu gugusan
bintang yang sangat redup dan
rapat hingga terlihat dengan
mata telanjang sebagai sebuah
pita cahaya yang samar saat
langit cerah. Itu sebenarnya
adalah cakram galaksi yang
terlihat dari sudut pandang kita
didalamnya.
Galaksi spiral adalah kumpulan
dari milyaran bintang yang
membentuk cakram, dengan
pusatnya yang berbentuk
tonjolan yang bersinar terang.
Dalam cakram galaksi biasanya
terdapat "lengan" yang sangat
cemerlang, dimana bisa ditemui
bintang-bintang yang paling
terang. Lengan-lengan ini
menjulur dari pusat galaksi,
sehingga membentuk sebuah
piringan spiral raksasa.
Galaksi-galaksi diklasifikasikan
menggunakan apa yang disebut
sebagai "tuning fork diagram"
(diagram garpu tala). Ujung dari
"garpu" membagi galaksi eliptik,
mulai dari yang paling bulat,
yang diklasifikasikan dalam
kelompok E7. Sementara itu,
bagian "gigi garpu" adalah
dimana dua tipe dari galaksi
spiral ditempatkan: spiral normal
dan spiral "berpalang". Galaksi
spiral berpalang adalah galaksi
yang memiliki sekelompok
bintang pusat yang terentang
membentuk sebuah garis dari
mana lengan spiral galaksi
menjulur.
Kedua jenis galaksi spiral ini
diklasifikasikan lagi berdasarkan
bentuk tonjolan pada intinya,
rata-rata kecerlangan
permukaannya, dan kerapatan
lengan spiralnya. Semua
karakteristik tersebut saling
berhubungan satu sama lain,
dengan demikian galaksi tipe Sa
memiliki tonjolan inti yang besar,
permukaan yang lebih
cemerlang, dan lengan spiral
yang rapat. Sementara itu,
galaksi tipe Sb memiliki tonjolan
inti yang lebih kecil, cakram
yang lebih redup, dan lengan
spiral yang renggang dari Sa.
Demikian seterusnya pada tipe
Sc dan Sd. Galaksi spiral
berpalang menggunakan skema
klasifikasi yang sama, yang
ditandai oleh tipe SBa, SBb, SBc,
dan SBd.
Ada pula galaksi yang
dikelompokkan dalam kelas S0,
yang secara morfologis (dilihat
dari proses terbentuknya)
merupakan tipe transisi dari
galaksi spiral dan eliptik. Lengan
spiralnya demikian tipis sehingga
tidak terlihat jelas. Galaksi tipe
S0 memiliki cakram dengan
kecerlangan yang seragam
dengan tonjolan inti yang
sangat dominan.
Galaksi spiral adalah suatu
kesatuan yang sangat dinamis.
Ia adalah sekumpulan formasi
bintang yang berisi banyak
bintang dalam cakramnya.
Pusatnya yang menonjol terdiri
dari bintang-bintang yang lebih
tua, dan lingkaran cahaya yang
menyebar pada inti galaksi
terdiri bintang-bintang yang
paling tua. Formasi bintang yang
aktif berada di bagian cakram
karena disana gas dan debu
lebih terkonsentrasi. Kita tahu
bahwa gas dan debu adalah
komponen utama yang
membentuk formasi bintang.
Pengamatan melalui teleskop
modern telah menyingkapkan
bahwa banyak galaksi spiral
yang memiliki lubang hitam
supermasif dengan massa
miliaran kali massa matahari
pada bagian pusatnya. Baik
galaksi spiral maupun eliptik
diketahui mengandung objek
eksotis ini. Pada kenyataannya,
kebanyakan astronom masa kini
percaya bahwa semua galaksi
besar memiliki lubang hitam
supermasif pada intinya. Lubang
hitam pada inti galaksi Bimasakti
sendiri diketahui memiliki massa
jutaan kali massa sebuah
bintang.

Sabtu, 08 November 2008

Soal astroboy 3

1.Saat jam lokal di suatu tempat di indonesia yang terletak pada 98^BT menunjukkah pukul 08.00, maka jam lokal di suatu tempat di amerika selatan yang terletak pada 54^BB seharusnya menunjukkan pukul. . .

2.Beberapa bola dijatuhkan dari sebuah menara setinggi 800m. Ternyata bola-bola tersebut tidak jatuh tegak lurus di kaki menara, tetapi menyimpang ke timur. Hal tersebut membuktikan bahwa. . .

3.Planet A Dan B masing-masing berjarak rata-rata sebesar p dan q terhadap Matahari. Planet A mengitari Matahari dengan periode T. Jika p=4q , maka B mengitari Matahari dengan periode. . .(dalam bentuk "T")

4.Jika perbandingan jarak planet X ke Matahari dengan jarak Bumi ke Matahari adalah 9 : 1,maka periode planet X mengitari Matahari adalah. . .Tahun.

5.Dalam keadaan oposisi letak Matahari ,Bumi ,Planet berturut-turut Adalah. . . .

Jumat, 07 November 2008

Soal astroboy 2

1.Sebuah bintang yang terletak 5
,2 parsek dari Matahari, memiliki
parallaks sebesar...

2.Planet terjauh yang memiliki
satelit bernama Hydra adalah...

A.Pluto
b.X

c.Mars
d.Sedna

e.Nibiru
f.Xena

g.Denebula
h.Salah Semua

3.Satu parsek sama dengan...Tahun cahaya

4.Manakah bintang di bawah ini
yang memiliki suhu terpanas
adalah yang mempunyai panjang
gelombang...

A.Bintang 4468 A
b.Bintang 4343 A

c.Bintang 6000 A

5.Manakah bintang yang jaraknya
lebih jauh di bawah ini...

A.Bintang 0,24 detik busur
b.Bintang 24 detik busur

c.Bintang 0,73 detik busur
d.Bintang 0,004 detik busur

e.Bintang 0,97 detik busur
f.Bintang 0,67 detik busur

g.Bintang 0,043 detik busur
h.Bintang 0,535 detik busur

Kamis, 06 November 2008

Paralak trigonometri

Penentuan jarak bintang baru
berhasil dilakukan pada abad ke-
19 dengan menggunakan
metode paralaks trigonometri.
Akibat dari gerak edar bumi,
bintang dekat akan terlihat
bergeser terhadap bintang
jauh. Dan bintang tersebut
seolah bergerak menempuh
lintasan ellips relatif terhadap
latar belakang bintang yang
jauh. Gerak ellips tersebut
merupakan pencerminan gerak
bumi. Sudut yang dibentuk oleh
bumi dan matahari ke bintang
inilah yang diebut paralaks
bintang. Semakin jauh letak
bintang, lintasan ellipsnya makin
kecil, paralaksnya juga makin
kecil.

Dengan mengetahui jarak bumi -
matahari, serta paralaks
bintang, jarak bintang bisa
diketahui dari hubungan :

1AU/d= tan p~p(dalam radian)

Metode paralaks trigonometri
hanya bisa digunakan untuk
mendapatkan jarak bintang-
bintang terdekat (untuk jarak
ratusan parsec).

Paralaks Spektroskopik

Dalam pengamatan, terang
suatu bintang diukur dalam
satuan magnitudo. Dari
pengamatan magnitudo semu
bintang serta kelas spektrum
bintang juga bisa diketahui.
Dengan mendefinisikan
magnitudo mutlak bintang
sebagai magnitudo bintang yang
diandaikan diamati pada jarak
yang sama, yaitu 10 parsec.
Untuk bintang-bintang jauh,
dengan membandingkan kelas
spektrum bintang dari hasil
pengamatan dengan bintang
yang kelas spektrumnya sama
dan sudah diketahui jaraknya,
magnitudo mutlak bintang bisa
diketahui dari hubungan pada
temperatur (kelas spektrum
dengan M). Selisih magnitudo
semu dan magnitudo mutlak
akan memberikan harga jarak
bintang dari pengamat setelah
dikoreksi terhadap serapan
antar bintang :

clip_image006[1]

Kondisi tanpa adanya debu akan
mempermudah penentuan
magnitudo absolut bintang.
Untuk bintang dekat, efek debu
kecil dan bisa diabaikan.

Soal astro 1,

Olimpiade Astronomi
Tes Teori Essai
Waktu : 90 menit
1.Dua buah bintang di sebuah sistem galaksi di amati memiliki magnitudo mutlak yang sama. Kedua bintang memiliki magnitude sebesar 11,56 dan 12,11. Bila paralaks bintang yang lebih terang 0,"04, hitunglah jarak bintang yang lebih redup !
2.Sebuah bintang bertemperatur 4297 0 C berada di luar sistem galaksi bimasakti.
Di daerah panjang gelombang berapakah bintang itu dapat terlihat dengan jelas ?
3.Jenifer hendak memotret sebuah bintang jauh yang besar sudutnya 57" dengan menggunakan teleskop reflector yang focus objektifnya 1400 cm. Tentukan berapa besar bintang tersebut setelah dipotret ?
4.Bintang "Scastron" dalam konstelasi "Jubelica" terdeteksi memiliki jarak 167 parsek. Jika diketahui magnitudo mutlak bolometricnya 0,58 dan koreksi bolometriknya 0,37. Apakah bintang ini dapat terlihat dengan mata telanjang ?
5.Berapakah energi yang dipancarkan sebuah bintang yang berjarak 4,2 tahun cahaya dari Bumi dengan Luminositas 4,21 x 10 26 watt ?

Sabtu, 01 November 2008

MEngenal bintang

Astronomi merupakan ilmu tertua yang mempelajari alam semesta. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, di astronomi objek yang diamati tidak bisa dipegang karena alam semesta itu sendirilah yang menjadi laboratorium. Hal inilah yang menjadi keunikan astronomi.

Salah satu objek yang diamati adalah bintang. Bagi masyarakat awam bintang hanyalah objek yang memancarkan cahaya kelap kelip di malam hari, bertaburan menemani bulan. Namun bagi para astronom, sebuah bintang bisa menceritakan banyak hal. Bukan hanya sekedar penambah suasana romantis. Tapi bagaimana mengamati bintang dan informasi apa yang bisa diperoleh? Darimana informasi itu diperoleh?

Saat mengamati bintang, yang teramati hanyalah sebuah objek kecil yang hampir mirip dengan noktah yang memancarkan cahaya. Lantas apa yang diamati? Cahaya bintang itulah yang diamati oleh para pengamat di bumi, karena cahaya tersebut merupakan pancaran energi dari bintang yang diamati. Dalam pengamatan, digunakan teleskop sebagai alat bantu dan informasi yang diterima biasanya berasal dari pancaran energi pada panjang gelombang tertentu yakni pada panjang gelombang tampak, inframerah dan ultraviolet.

Luminositas Bintang
Kecerlangan intrinsik bintang bisa kita lihat dari pancaran energinya. Semakin besar energi yang dipancarkan, maka bintang tersebut akan semakin terang. Bagi para astronom luminositas didefinisikan sebagai jumlah energi yang dipancarkan bintang setiap detik pada permukaan seluas 1 cm2 kesegala arah.

Karena letak bintang yang sangat jauh tentunya tidak mungkin pengamat pergi ke bintang untuk mengetahui berapa jumlah energi yang dipancarkan tersebut. Untuk itu pertama-tama kita harus mengetahui energi total yang diterima pengamat tiap detik pada permukaan seluas 1 cm2. Energi yang diterima pengamat ini bisa didapatkan dari cahaya yang diamati. Sehingga luminositas bisa didapat dari hubungan: E = L/4(pi)d2

Tapi bagaimana dengan jarak ke bintang? Jarak ke bintang bisa diketahui dari hubungan paralaks trigonometri untuk bintang-bintang dekat : d = 1/p

Cara lain untuk menentukan jarak bintang-bintang jauh adalah dengan menggunakan hubungan modulus jarak dan kuat cahaya bintang. Pada bintang-bintang jauh pengamat bisa mengetahui magnitudo semu bintang saat pengamatan. Sebelumnya kita terlebih dahulu harus mengetahui kelas spektrum bintang yang kita amati, sehingga magnitudo mutlak bintang yakni kuat cahaya yang diandaikan diamati dari jarak yang sama yakni 10 pc bisa didapatkan. Magnitudo mutlak bintang ditentukan dengan mengasumsikan magnitudo mutlak bintang yang diamati sama dengan magnitudo mutlak bintang-bintang dekat yang kelas spektrumnya sudah diketahui. Maka jarak bisa diperoleh dari hubungan : m - M = -5 -5 log d

Untuk kasus bintang ganda, jarak antara kedua bintang bisa diketahui dari tan sudut yang terbentuk antara kedua bintang dengan pengamat dengan a adalah setengah sumbu besar. Dengan mengetahui jarak, pengamat sudah bisa menentukan berapa jumlah energi yang dipancarkan bintang setiap detik pada permukaan luas 1 cm2.

Rabu, 29 Oktober 2008

Sepintas fotometri

Pengenalan Fotometri (Bagian 2)
Sistem Magnitudo

Materi yang berikutnya akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan fotometri adalah sistem magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif)

Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.

Skala Pogson untuk magnitudo (semu):
m1 - m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2

Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standar.

Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.

Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.

Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).

Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 pc.

Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 - M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2

Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m - M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak.

Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.

Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m - M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.

Contoh:
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ?

Jawab : m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m - M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 - 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 --> d = 100 pc

Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.

Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau mfot .

Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index - CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.

Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.

Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :

U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)

Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya.

Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.

Contoh:
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
no.1>>B=8,52>>v=8.82
no.2>>B=7,45>>V=7,25
no.3>>B=7,45>>V=6,35
1.Tentukan bintang nomor berapakah yang paling terang ? Jelaskanlah alasannya
2.Bintang yang anda pilih sebagai bintang yang paling terang itu dalam kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang yang paling terang ? Jelaskanlah jawaban anda.
3.Tentukanlah bintang mana yang paling panas dan mana yang paling dingin. Jelaskanlah alasannya.
Jawab:
1.Bintang paling terang adalah bintang yang magnitudo visualnya paling kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang magnitudo visualnya paling kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling terang adalah bintang no. 3

2.Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung pada jaraknya ke pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak sangat lemah cahayanya karena jaraknya yang jauh.
3.Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita tentukan dahulu indeks warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau makin biru sebuah bintang maka semakin kecil indeks warnanya.

Nomor bintang B V B - V
1. 8,52 8,8 -0,30
2. 7,4 7,25 0,20
3. 7,45 6,35 1,10

Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna terkecil adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no. 1.

Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.

Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.

Mbol-Mbol[o]= -2,5LOG[L/Lsun]

Dengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)

Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol - Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.

Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.

Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction - BC).

mv - mbol = BC

Mv - Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.

Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil.

Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.






Pengenalan Fotometri (Bagian 1)

Fotometri adalah bagian dari astrofisika yang mempelajari kuantitas, kualitas dan arah pancaran radiasi elektromagnetik dari benda langit. Penggunaan kata 'foto' yang berarti 'cahaya' disebabkan pada awalnya pengamatan benda langit hanya terbatas pada panjang gelombang visual/optik.

Fotometri didasarkan pada pemahaman atas hukum pancaran (radiation law). Kita menghipotesakan bahwa benda langit diangggap memiliki sifat sebuah benda hitam (black body).

Sifat benda hitam antara lain :

1) pada kesetimbangan termal, temperatur benda hanya ditentukan oleh jumlah energi yang diserapnya per detik;

2) benda hitam tidak memancarkan radiasi pada seluruh gelombang elektromagnetik dengan intensitas yang sama (ada yang dominan meradiasikan gelombang elektromagnetik pada daerah biru dengan intensitas yang lebih besar dibandingkan gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang lainnya. Konsekuensinya, benda tersebut akan nampak biru).

Panjang gelombang yang dipancarkan dengan intensitas maksimum (λmaks) oleh sebuah benda hitam dengan temperatur T Kelvin adalah :

λmaks = 0,2898/ T .......................... (pers. 1)

(λmaks dinyatakan dalam cm dan T dalam Kelvin)

Persamaan di atas disebut dengan Hukum Wien.

>>
Jumlah energi per satuan waktu yang dipancarkan sebuah benda hitam per satuan luas permukaan pemancar (benda hitam) disebut fluks energi yang dipancarkan. Besarnya fluks energi yang dipancarkan sebuah benda hitam (F) dengan temperatur T Kelvin adalah :

F = σT4 .......................... (pers. 2)

(σ : konstanta Stefan-Boltzman : 5,67 x 10^-8 Watt/m2K4)

Sedangkan total energi per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas permukaan pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas. Besarnya luminositas (L) dihitung dengan persamaan :

L = A σT4 .......................... (pers. 3)

Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar radiasinya (A) adalah 4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang (L) adalah :

L = 4πR2 σT4 .......................... (pers. 4)

Benda hitam memancarkan radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi tersebut menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang sama, yaitu E. Besarnya E :

E = L/(4πd2) .......................... (pers. 5)

Fluks energi inilah yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak d dari pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima pengamat. (Warning : bedakan antara besaran E dan F).
Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (invers square law) untuk kecerlangan (brightness, E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin redup cahayanya.

>>

Latihan:
1.Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa permukaan seluas 1 cm2 di luar atmosfer bumi menerima energi yang berasal dari Matahari sebesar 1,37 x 106 erg/cm2/s. Apabila diketahui jarak Bumi-Matahari adalah 150 juta kilometer, tentukanlah luminositas Matahari.

2.Bumi menerima energi dari Matahari sebesar 1380 Watt/m2. Berapakah energi dari Matahari yang diterima oleh planet Saturnus, jika jarak Matahari-Saturnus adalah 9,5 AU?

3.Luminositas sebuah bintang 100 kali lebih terang daripada Matahari, tetapi temperaturnya hanya setengahnya dari temperatur Matahari. Berapakah radius bintang tersebut dinyatakan dalam radius Matahari ?